Minggu, 07 Oktober 2007

TKW SEBUAH KONTROVERSI

TKW SEBUAH KONTROVERSI

Prolog

Tahun 1992, Desa Dompyong (Kabupaten Cirebon – Jawa Barat) adalah sebuah desa yang masih dikatagorikan sebagai desa miskin , hal ini didukung oleh beberapa kenyataan sebagai berikut:

  1. Listrik Masuk Desa (LMD) yang merupakan proyek jamannya Pak Harto, baru masuk tahun 1987, padahal saat itu hampir sebagian besar Desa-Desa di Kabupaten Cirebon sudah sejak lama menikmati aliran listrik.
  2. Angka Kematian Balita dan Gizi Buruk masih tinggi, dikarenakan ketidak mampuan ekonomi menyebabkan balita yang sakit jarang dibawa ke PUSKESMAS apalagi ke Dokter
  3. Tingkat Pendidikan Penduduk masih didominasi oleh orang buta huruf dan tamatan SD, sedangkan yang menyelesaikan SMP sampai dengan Perguruan Tinggi jumlahnya masih di bawah 5 %
  4. Tingkat perceraian tinggi, hal ini diakibatkan karena ketidakmampuan ekonomi dari pihak si suami
  5. Jalan-jalan desa sepenuhnya masih jalanan tanah, apabila musim kemarau menimbulkan banyak debu, tetapi kalau musim hujan jadi pada becek
  6. Mata pencaharian penduduk hampir seratus persen adalah petani dan buruh tani, saya masih inget yang jadi guru hanya 10 orang, yang bekerja di Departemen Koperasi hanya 1 orang, dan yang bekerja di BPK hanya 1 orang, dan merekalah yang disebut sebagai segelintir orang kaya di kampung.

Sampai dengan tahun 1992 penulis masih tinggal di Desa Dompyong, karena saat itu penulis baru saja menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan baru saja menyandang gelar sebagai Insinyur Pertanian pertama di desaku tercinta.

Untuk menghidupi ekonomi keluarga, pada saat musim hujan tiba, para suami dan istri pada turun ke sawah untuk bercocok tanam padi, yang punya tanah sawah menggarap tanahnya sendiri, yang tidak punya lahan garapan ya terpaksa menjadi buruh tani saja, begitulah rutinitasnya berlangsung dari tahun ke tahun. Setelah masa tanam selesai dan sambil menunggu masa panen tiba, biasanya para suami dan laki-laki yang sudah cukup dewasa “MERANTAU” ke Jakarta, disana biasanya “dagang Aqua” di TMII, berangkat jum’at pulang senin, karena jualannya hari sabtu dan minggu. Hasil dari dagang tersebut dipakai untuk menghidupi keluarga selama seminggu, nanti biasanya hari jum’at berangkat lagi dan hari senin pulang lagi, begitu seterusnya sampai musim panen tiba.

Keunikan (atau lebih tepatnya mungkin kelemahan) orang-orang di kampungku yaitu mereka sepertinya sudah merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Kendati panen sering gagal dan sering terlilit utang rentenir, asal bisa makan untuk hari ini, ya sudah, mereka merasa senang. Perkara untuk hari esok dipikirkannya besok saja. Begitupun kalau “Merantau” ke Jakarta, asal hari sabtu dan minggu dapat uang, dan uang yang didapat itu diperkirakan cukup untuk menghidupi keluarga selama seminggu, ya sudah, hari senin mereka pulang ke desa, ggak betah katanya lama-lama di Jakarta, enakan di kampung halaman.

Dengan kondisi seperti itu, masyarakat di desaku adalah masyarakat yang hanya memikirkan “Life for Eat”, tanpa memikirkan bagaimana kalau nanti anak sakit, tanpa memikirkan bagaimana nanti kalau anak udah gede, gimana caranya menyekolahkan anak, dansebagainya-dansebagainya. Sehingga memang pantas kalau dengan pola hidup seperti itu desaku akan tetap menjadi desa miskin di Kabupaten Cirebon.

Malaikat Penolong ?

Tenaga Kerja Wanita atau lebih ngetop dengan sebutan TKW, istilah ini mulai dikenal di kampungku sejak Tahun 1987, saat itu masyarakat di kampungku masih menilai bahwa menjadi TKW (walaupun gajinya besar) adalah suatu pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bener-bener sudah nekat dan tidak punya harapan hidup lagi di kampung halaman, suatu pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh seorang perempuan yang baru saja dicerai suaminya, menanggung banyak anak untuk dihidupinya, sedangkan si suaminya tidak mau ngempanin anak-anaknya malah kawin lagi dengan tetangga depan rumahnya, barulah dengan kondisi seperti itu biasanya sang perempuan nekat pergi ke Saudi Arabia untuk menjadi TKW.

Bayangkan, jangankan ke Saudi Arabia (saat itu baru di kenal TKW Arab), sekedar jalan-jalan ke kota cirebon saja paling-paling dilakukan setahun sekali itupun biasanya pada saat lebaran, pergi rame-rame se-RT naik mobil bak terbuka, bawa bekel secukupnya untuk nanti dimakan rame-rame di kota cirebon, itulah yang kami namakan “PLESIR (Piknik)”.

Bisa juga seorang perempuan berangkat ke “Arab” karena memang sudah komitmen dengan suaminya dikarenakan sudah bosan dengan kehidupan yang dialaminya, kalau sudah begitu biasanya si istri berangkat ke Saudi Arabia, si suami jadi penunggu rumah dan mengurusi anak-anak dari mulai memasak, mencuci baju, setrika, danseterusnya pokoknya jadi bapak(ibu) rumah tangga deh.

Saya masih inget, perempuan pertama di desaku yang berangkat ke Arab menjadi TKW adalah bi Jumainah, Suaminya namanya mang Dawud, punya anak si Amat dan si Eti.

Sebagai Kepala Keluarga, mang Dawud adalah seorang buruh tani dengan penghasilan pas-pasan dan uang yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja, kendatipun mang Dawud sudah peras keringat banting tulang, tetap saja kehidupannya tidak beranjak. Sampai akhirnya diputuskan bahwa untuk memperbaiki kehidupan rumah tangga mereka, sang istri harus menjadi TKW ke Saudi Arabia.

Saat bi Jumainah berangkat tahun 1987, si Amat masih berumur 2 tahun dan si Eti masih berusia 6 bulan, sungguh suatu perjuangan yang berat bagi mang Dawud untuk membesarkan ke dua anaknya, mang Dawud harus berperan sebagai bapak juga berperan sebagai ibu, dan pada saat yang sama harus menahan gejolak rindunya pada sang istri nun jauh disana.

Mang Dawud termasuk suami yang setia dan penuh pengorbanan, selain pintar mengurus anak dan rumah, mang Dawud juga pandai menyimpan uang yang dikirimankan sang istri, hasil jerih payah bi Jumainah selama menjadi TKW, sehingga tak lama kemudian mang Dawud sudah bisa membeli sebidang tanah garapan, membangun rumahnya yang tadinya berdinding bambu beratap alang-alang, menjadi “Gedong Sigrong”, membeli sepeda motor baru, dan selanjutnya bisa menyekolahkan anak-anaknya; Sekarang si Amat sudah menjadi ABRI dan si Eti saat ini tercatat sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta dan sedang memburu gelar SPd, karena cita-citanya memang ingin menjadi guru.

Keberhasilan keluarga mang Dawud rupanya menjadi awal mula tumbuhnya “bi Jumainah” “bi Jumainah” baru, karena semenjak bi Jumainah berangkat ke Saudi Arabia dan berhasil mengubah hidup, menjadi pemicu yang sangat manjur bagi perempuan-perempuan lainnya di kampungku untuk mengikuti jejaknya. Dan sejak saat itulah kampungku kini menjadi kampung pengekspor TKW terbesar (mungkin) se-Indonesia; walaupun saya tidak menghitungnya, tapi dapat dipastikan bahwa sekarang ini di setiap rumah dikampungku pasti ada satu orang perempuan yang berangkat menjadi TKW entah itu ke Saudi Arabia, ke Hongkong, ke Taiwan, maupun ke Singapur. Ternyata TKW memang telah menjadi malaikat penolong kampungku dari kampung miskin menjadi kampung yang “sejahtera”. Dapat dibayangkan sepuluh tahun yang lalu kampungku masih dipenuhi dengan rumah berdinding bambu dan beratap alang-alang, sekarang, setelah 10 tahun para TKW mengabdi. Anda bisa lihat sendiri (kalau sempet) rumah-rumah bagus dan permanen hampir disemua sudut kampung, kendaraan bermotor hilir-mudik tiada henti karena jalan desa sudah di-hotmix, geliat perekonomian sangat terasa karena setiap rumah tangga punya sesuatu untuk dibelanjakan, sehingga kampungku sekarang benar-benar “HIDUP”.

Kontroversi

Booming TKW di desa Dompyong, ternyata membawa dampak yang sungguh hebat pada tatanan kehidupan bermasyarakat, baik tatanan kehidupan dalam rumah tangga masing-masing individu maupun dalam hubungan sosial rumah tangga yang satu dengan rumah tangga lainnya. Kelaziman badaya di negeri ini yang mengharuskan laki-laki menjadi kepala rumah tangga dan wajib mencari nafkah untuk menghidupi anak istri, sementara sang istri menjadi ibu rumah tangga, sudah mulai terbalik.

Sekarang ini banyak laki-laki(suami) yang “Kemayu”, sudah tidak mau lagi kerja keras banting tulang untuk menghidupi anak istrinya, mereka lebih suka menghabiskan waktunya di rumah, membersihkan rumah, mencuci, setrika, dan mengurus anak-anak. Mereka merasa bahwa dengan melakukan pekerjaan di atas, sudah cukup baginya dijadikan “suami yang baik”, bagi istrinya yang sedang mengadu nasib dan memeras keringat di Saudi Arabia demi beberapa gelintir REAL untuk dikirimkan ke Indonesia dalam rangka untuk menghidupi Suami dan Anak-anaknya.

Menjadi laki-laki dikampungku, sekarang ini ibarat menjadi “wanita” saja, sementara wanita yang sebenarnya malah sekarang ini menjadi “laki-laki” dalam arti yang sebenarnya juga, karena merekalah yang sekarang ini menghidupi keluarga, dengan penghasilan para TKW inilah, para keluarga bisa memenuhi tidak hanya sandang dan pangan tetapi juga papan.

Para TKW di kampungku, sekarang ini sudah seperti kepala rumah tangga saja, mereka lebih berani dalam memerintah suami, mengatur suami, karena memang kenyataannya merekalah yang mencari nafkah dan menghidupi rumah tangga.

Ketidaklaziman “perilaku” di atas, lebih diperparah lagi dengan satu kenyataan yang sangat memilukan hati. Si Juned dan Enok Ipah (bukan nama sebenarnya) adalah sepasang suami istri yang dikaruniai seorang anak perempuan berumur 1,5 tahun, setelah 3 bulan melahirkan, Enok Ipah berangkat ke Saudi Arabia menjadi TKW. Si Juned dengan setia mengurusi anak kesayangannya walaupun dengan perasaan yang masgul karena ditinggal pergi istri tercintanya. Setelah 2 tahun berlalu, si Juned hatinya semakin berdebar-debar karena semakin dekat dengan hari kedatangan istrinya dari Saudi Arabia. Tapi apa dikata begitu Enok Ipah datang, ternyata datang dengan lelaki lain, rupanya Enok Ipah sudah “bersuami” lagi dengan tetangga desa yang kebetulan menjadi TKI di sana. Bisa dibayangkan betapa hancurnya hati si Juned dengan kenyataan seperti itu, 2 Tahun dia bersusah payah membesarkan anak, 2 tahun dia setia dengan tetap menunggu dan menanti Enok Ipah, eh……….Enok Ipahnya malah disana “berselingkuh” dengan lelaki lain.

Cuman yang lebih memilukan hati, dengan kenyataan seperti itu si Juned malah bilang sama Enok Ipah begini…..”Enok Ipah, biarlah kamu bersuami lagi. Akang Juned rela di dua asal hidup akang Juned sama anak kita dibiayai sama Ipah”

Bagaimana komentar anda??????